Tuesday, January 28, 2014

GWC VI : Transisi, Repetisi

Selamat sore, para pembaca sekalian!~

Seperti yang telah dijanjikan sebelumnya, cerita-cerita kreasi massa Genshiken hasil kompetisi Genshiken Writing Challenge yang telah berlalu akan kami publikasikan di blog ini secara berkala! Kami akan memulainya dengan salah satu karya keluaran Genshiken Writing Challenge VI, yakni 'Transisi, Repetisi' -  adapun detail-detail teknis mengenai kisah ini adalah sebagai berikut:

  • Judul : Transisi, Repetisi
  • Event : Genshiken Writing Challenge VI (Time Loop)
  • Pengarang : *

Selamat membaca!~

* Catatan : Hasil-hasil Writing Challenge di-post di forum kami tanpa mencantumkan identitas pengarang - identitas pengarang akan ditambahkan setelah ada konfirmasi

 -------------------------------------------

“Eh?”

“Kita kembali lagi?”

“Ini apaan sih!?”

Suara-suara senada bisa terdengar didalam kelas ini. Seorang pemuda yang duduk di pojok tidak berkata apa-apa, tapi dalam hatinya ia juga merasa sebal dengan apa yang terjadi saat ini.

“Ini sudah ketiga kalinya, ketiga, lho!” seru orang yang duduk disamping pemuda yang diam tadi.

Si pemuda itu sendiri pernah membaca beberapa cerita tentang hal ini, dimana entah hanya sedikit karakternya yang terpengaruh, atau sang karakter melupakan bahwa kejadian ini terjadi.

Timeloop. Waktu yang terus menerus terulang.

Tapi timeloop yang terjadi hari ini belum pernah ia pikirkan sebelumnya. Seisi kelas terkena dampaknya dan mengingat kejadian itu. Alhasil, ujian hari ini, telah terjadi sebanyak tiga kali. Kini mereka dalam pengulangan ketiga, dan akan melakukan ujian tengah semester untuk yang keempat kalinya.

Ketika waktu terulang untuk pertama kalinya, semua anggota kelas terkejut bukan main, sebagian bahagia bukan main karena mengetahui soal yang akan dibagikan dan segera mempelajari soal-soal ujian yang sudah mereka ketahui sebelumnya. Sebagian yang lain memilih diam dan mengikuti, walaupun dalam hati mereka tidak mengerti apa yang tengah terjadi.

Dari apa yang bisa mereka lihat, sang guru sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ia membagikan soal seperti sebelumnya. Beberapa orang anak tertawa kecil ketika sang guru membagian soal. Mereka sudah mengetahui seperti apa soal yang akan mereka kerjakan.

20 menit setelah ujian dimulai, salah seorang siswa berdiri.

“Pak, saya sudah selesai, bolehkah saya meninggalkan ruangan?”

Sang guru mengangguk, dan mengisyaratkan siswa tersebut untuk menaruh lembar jawabannya didepan. Seraya bersiul riang, siswa itu berjalan menuju pintu keluar, dan… WHUSH!

Semua kembali seperti semula. Mereka yang masih mengerjakan soal, tersentak karena pemandangan didepan mata mereka bukan lagi soal, melainkan pemandangan pagi tadi.

“Eh? Kok kita kembali lagi!?” seru salah seorang siswa.

“Oi, Tom, jangan-jangan ini gara-gara kamu keluar kelas?” ujar siswa lain pada siswa yang pada pengulangan pertama, keluar kelas setelah 20 menit ujian dimulai.

“Masa sih…?” Tom merengut, kemudian duduk diatas meja.

“Sekarang masih… jam 9 kurang 10… kita benar-benar kembali ke waktu sebelum ujian… Kukira ini cuma mimpi…” ujar salah seorang siswi. Siswi itu menoleh ke teman di sebelah kanannya.

“Al, Alia, gimana menurutmu?” tanya siswi tersebut pada gadis disebelahnya. Gadis itu diam, kepalanya tertunduk menatap meja didepannya. “Hei, ketua kelas!” Dipanggil ketua kelas, barulah sang ketua kelas, Alia, menyahut.

“Eh? Ah, tidak… aku tidak tahu apa yang terjadi…”

“Pokoknya, sekarang jangan ada yang keluar kelas! Gue tahu lu pinter kok, Tom, tapi jangan keluar kelas sampai ujian selesai, ya!” ujar salah seorang siswa.

“Iya, iya. Ah, sudah datang, tuh!”

Para siswa dengan tergesa-gesa kembali ke tempat duduk mereka masing-masing, duduk dalam posisi siap ujian. Mereka tenang karena mereka tahu isi kertas yang mereka hadapi. Di sisi lain, mereka merasa cemas akan ketidakpastian yang menunggu mereka di akhir ujian.

Dalam 100 menit kemudian, tidak ada satupun yang bersuara. Bahkan, guru merekapun tidak berbicara sama sekali setelah ia menjelaskan tata tertib ujian. Ia terkadang berjalan diantara para siswa, dan kadang ia duduk di kursinya, mengeluarkan ponsel dan mengutak-atiknya.

Setelah ujian tersebut selesai dan sang guru keluar dari kelas, seluruh siswa kelas tersebut bernafas lega, tapi masih ada sesuatu yang mengganjal di beberapa dari mereka. Bisakah mereka keluar kelas dan mendapatkan pemandangan berupa lorong, bukan kembali ke kelas dua jam sebelumya?

“Hei, jadi gimana nih?”

“Iya, apa nggak apa-apa kalau kita keluar?”

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mulai terdengar dari mulut para siswa. Hiruk pikuk segera memenuhi seluruh kelas. Alia, sang ketua kelas, melihat ke seluruh kelas dan berpikir.

“Salah satu dari kita harus mencoba keluar.”

Alia berkata dengan suara lantang, mengalihkan perhatian semua siswa lain padanya.

“Tapi, bagaimana kalau kita mengulang ujian ini lagi?”

“200 menit penyiksaan seperti ini sudah cukup, Ya.”

“Saat ini, cuma itu yang bisa gue sarankan. Apa kalian punya ide lain?” tanya Alia pada siswa-siswa di kelasnya. Tak ada satupun yang menjawab.

“Kalau tidak ada yang memberikan ide, kita harus mencoba keluar.”

Salah seorang siswa tampak ingin mengatakan sesuatu, namun ia mengurungkan niatnya.

“Baik, kalau begitu, aku akan mencoba keluar.”

“Kalau kita kembali lagi, bagaimana?”

“…Kurasa kita tidak punya pilihan selain mengerjakan lagi ujiannya.” jawab Alia lirih dengan senyum lemah di wajahnya.

“Tapi, itu…” potong seorang siswa, yang suaranya melemah dan kemudian menghilang.

Alia baru akan membuka pintu, ketika Tom menahannya.

“Ada apa, Tom?”

“…tidak.” Tom melepaskan tangannya dari bahu Alia, dan Alia melangkah keluar.

WHUSH.



Semua kembali ke tempat mereka masing-masing. 30 menit sebelum ujian dimulai.

Alia, Tom, siswa siswi lainnya, menemukan diri mereka kembali ke tempat asal mereka.

Tom menoleh ke pemuda sebelahnya, yang memprotes sudah ketiga kalinya timeloop ini terjadi.

Alia melangkah keluar dan waktu terulang, padahal ujian sudah selesai. Artinya, tidak ada satupun dari mereka yang bisa keluar, atau waktu akan terulang.

“Gue gamau ujian lagi!” teriak salah seorang siswi.

“Eh, tapi bisa kita perbaiki lagi, kan?” balas seorang siswa.

“Tapi tetep aja, kalau nggak ngerti, kan tetep nggak ngerti! “ seru siswi tadi.

Kelas itu kembali dipenuhi suara frustasi dan kekesalan.

“Hei, Alia, tanggung jawab!” seru salah seorang siswa.

“Ini bukan salah Alia, kan? Tadi kalian tidak punya solusi lain, kan!?” balas siswi yang duduk disamping Alia.

“Ya, kita kan bisa menunggu sampai ada yang masuk ke ruangan ini!?”

“Lalu kenapa nggak kau katakan tadi!?”

“Sudah, Tia, sudahlah.” Alia menggenggam erat tangan siswi yang ada disampingnya.

“Tapi, Alia, ini bukan salahmu!” ujar Tia lirih. Alia bisa merasakan tangan Tia gemetar hebat ketika memegangnya. Panik, kesal, dan takut menjadi satu. Mata Tia pun mulai berkaca-kaca. Alia menariknya dan memeluknya.

“Alia…”

“Kita akan keluar dari sini, aku janji, Tia.”

“Uuuuu…” Alia bisa mendengar teman terbaiknya itu terisak di pelukannya.

“Gahh, dasar. Kalau begini, kita jadi harus ujian lagi…”

“Apa gunanya ujian lagi kalau kita sama sekali nggak bisa mengerjakannya!?” seru salah seorang siswa.

“Lalu kenapa lu nggak belajar!? Bukannya itu tugas kita sebagai siswa!?” seru seorang siswi lainnya.

“Ngapain belajar kalau yang dipelajari nggak keluar di ujian!?”

“Buktinya, di soal tadi, yang keluar materi yang baru tiga minggu terakhir diajari, kan!?”

“Ada apa ini?”

Tanpa mereka sadari, pintu ruangan kelas sudah terbuka dan sang guru sudah berada di ambangnya. Para siswa melihat sang guru dengan tatapan putus asa.

“Kok kalian seperti yang kehilangan harapan? Tenang aja, ujiannya nggak sesusah itu…”

Para siswa saling pandang, beberapa di antaranya menggeleng lemah, kemudian duduk di tempatnya masing-masing.

“Baik, kita mulai ujiannya dari… sekarang.”



Yang mereka lakukan tak lain hanyalah apa yang telah mereka lakukan tiga kali sebelumnya, diulang ke detil terkecil.

Mereka yang sanggup mengerjakan ujian itu, bosan.

Mereka yang tak sanggup, frustasi.

Hingga 100 menit akhirnya berlalu, sang guru mengumpulkan kertas ujian dan meninggalkan kelas.

Seisi kelas terdiam. Tidak ada satupun yang beranjak dari kursinya ataupun bersuara selama 5 menit penuh.

Pada menit keenam, Tom berdiri dari bangkunya.

“Oi,mau kemana?” tanya siswa di sebelahnya.

“Aku ingin bicara dengan ketua kelas.”

“…baiklah.” Siswa tersebut memalingkan wajahnya, kemudian menyandarkan kepalanya diatas buku yang ada di meja didepannya. Tom segera berjalan kedepan bangku tempat sang ketua kelas duduk.

“Ya, menurutmu apa yang terjadi?”

“…aku nggak tahu.” Jawab Alia singkat. “Jujur aja, kurasa nggak ada orang normal yang tahu apa yang terjadi sekarang ini. Bukannya yang sering baca buku fiksi ilmiah aneh kamu?”

“Ah, yah… gue pernah baca beberapa buku tentang ini, tapi nggak kayak gini keadaannya. Biasanya cuma satu atau dua orang saja yang terpengaruh, nggak seluruh kelas juga. Kalau cuma satu-dua orang, mungkin bisa diketahui penyebabnya, tapi kalau seluruh kelas… gue nggak yakin.”

“Gue nggak mau ujian lagi…” ujar salah satu siswi pelan.

“Bukan lo doang yang nggak mau ngerjain lagi. Gue juga, dan gue yakin disini ga cuman gue dan lo yang nggak mau.”

“Kenapa kalian nggak mau ngerjain lagi?” tanya Tom.

“Kita bukan lu, Tom. Otak kita nggak nyampe situ.” Jawab siswa barusan.

“Kalau gitu, sekarang ada waktu belajar, kan? Kenapa nggak belajar aja? Kalau kita mengulang waktu lagi, lo punya kesempatan lebih, kan?”

“Tapi!...Ugh…”

“Mungkin begitu… Diantara kalian disini, siapa saja yang tidak mengerti materi dari ujian yang baru saja dilaksanakan?” tanya Alia seraya berdiri dari tempat duduknya. Tidak ada yang mengacungkan tangan selama beberapa detik. Kemudian, seorang mengacungkan tangan, lalu dua orang, tiga orang, empat orang, hingga akhirnya, delapan belas orang mengacungkan tangan.

“Hampir setengah kelas, ya…” gumam Alia setelah menghitung.

“Baiklah, kenapa kita tidak belajar saja mulai sekarang?” ajak Tom. Ia melangkah ke bangkunya untuk mengambil buku pelajaran, kemudian…

WHUSH!

Waktu kembali berputar.

“TIDAAAAAAAAAKKKKKKK!!!!” salah seorang siswi berteriak. Teman-temannya segera memeluknya dan menenangkan dia.

“Tom! Kau ingat tadi berapa lama?” tanya Alia.

“Kira-kira setengah jam setelah ujian selesai.”

“Berarti setengah jam sebelum dan setelah ujian… Teman-teman, kita punya 30 menit sebelum dan setelah ujian. Mereka yang tidak bisa mengerjakan, kami yang bisa mengerjakan akan mengajarimu dalam waktu itu. Baca kembali soal ujian kalian, dan terus perbaiki.”

“Tapi, Alia…” seorang siswa yang sebelumnya mengacung mencoba membalas, tetapi kemudian Tom menyelanya.

“Saat ini, mungkin itu yang terbaik yang bisa kita lakukan. Mungkin setelah kita semua melakukan ujian ini dengan baik, kita akan keluar dari sini.”

“Apa kau bisa menjaminnya?!” tanya seorang siswa lain.

“Tidak, tapi apa ada jalan lain yang mungkin?”

“Kenapa kau tidak memberikan saja jawabannya pada kami? Dengan begitu, nilai kami jelas akan aman, kan?”

“Dalam ulangan, yang diuji adalah diri kalian sendiri, aku tidak bisa memberi jawaban apapun, tapi aku bisa membantu kalian mencapainya. Begitu juga dengan teman-teman yang mengerti. Mereka akan bisa membantu kalian yang belum bisa mencapai tujuan kita ke sekolah, belajar!”

Tidak ada yang membalas jawaban Tom.

“Baik, dalam 20 menit, kita akan membahas soal pertama. Perhatikanlah.”

Tom membahas teori dasar dari soal pertama selama 20 menit, dibantu Alia.

“Baiklah, sebentar lagi guru kita masuk, ingat baik-baik dasar dari soal ini. Kuncinya ada di teorema ini.”

Tak lama kemudian, guru mereka masuk dan membagikan kertas ujian. Tanpa suara, mereka mengerjakannya.

…100 menit berlalu, sang guru keluar kelas.

“Baiklah, dari pengerjaan tadi, adakah yang tidak bisa kalian lakukan dari soal pertama?”

“Anu, aku tidak mengerti di bagian ini…”

Pertanyaan demi pertanyaan mengalir, hingga akhirnya waktu terulang lagi. Kini, mereka membahas soal nomor dua.

Terus begitu, dari pengulangan kelima dimana mereka membahas soal nomor dua, keenam, hingga pengulangan kedelapan dimana mereka membahas soal kelima.

Kini tibalah pengulangan kesembilan. Walaupun tubuh mereka tidak lelah karena waktu terulang terus dan mengembalikan keadaan tubuh mereka ke keadaan segar, namun jelas terlihat di wajah para siswa kalau mental mereka hampir hancur.

“Kuharap ini berhasil.” bisik Alia pada Tom.

“Kuharap juga begitu. Good luck.”

“Terimakasih, Tom.” Alia tersenyum, kemudian kembali ke tempat duduknya tepat setelah guru membuka pintu.

Dan dimulailah ujian kesepuluh mereka.

Ujian itu berlangsung seperti sebelumnya, tanpa suara, selain goresan pena pada kertas.

10 menit berlalu… 20 menit berlalu… 30 menit berlalu…

9 kali mengerjakan dari pengulangan-pengulangan sebelumnya, mereka menjadi terbiasa dengan soal-soal ini, dan karena itu, waktu terasa berjalan lebih lambat bagi mereka, dan setelah 100 menit yang amat lama, bel berbunyi dan kertas ujian dikumpulkan.

“Bu guru.” panggil Alia.

“Ya, Alia?”

“Kira-kira, kapan nilai akan ditampilkan?”

“Seminggu lagi. Nanti akan ibu sampaikan.”

“Baik, terimakasih, bu.”

Sang guru kemudian meninggalkan kelas.

Semua soal telah selesai dibahas, semua yang tidak sanggup mengerjakan telah dibantu. Yang Tom ketahui, dari salah satu buku yang ia baca, ada kejadian dimana timeloop terjadi karena ada seseorang yang menyesal akan keputusan yang dibuatnya, sehingga waktu terulang, tapi karena orang tersebut tetap menyesal, maka waktu terulang hingga seseorang berhasil memecahkan masalahnya.

Ia berharap ini jalan keluarnya. Tentu bukan hanya dirinya, semua siswa kelas ini berharap begitu.

5 menit menuju waktu reset.

Waktu terasa berjalan amat lambat. Apakah ini akan berakhir? Apakah waktu akan terulang lagi?

1 menit menuju waktu reset.

Kesunyian mengisi kelas. Alia bahkan dapat mendengarkan detak jantungnya sendiri. Tidak ada suara apapun dari dalam maupun luar kelas, seakan kelas ini terpisah sepenuhnya dari dunia luar, baik dalam ruang maupun waktu.
5…4…3…2…1

Semua menahan nafas.

0.






“Jamnya…tidak kembali.” Ujar salah satu siswa.

“…” “…” “…”

“WUUUUUUUUHUUUUU!!!!!!!!!!!!!”

Seisi kelas bersorak gembira dan bernafas lega. Pemandangan didepan mata mereka tidak kembali ke masa sebelum ujian.
Tia memeluk erat-erat Alia, yang tersenyum penuh kelegaan. Sang ketua kelas memandang ke arah Tom, yang juga tampak lega.

Suasana hiruk pikuk tak terhindarkan dalam kelas yang baru saja melewati ujian terlama mereka.



“Untung saja kita bisa kembali.” Alia berkata seraya menelusuri jalan menuju rumahnya.

“Aku setuju… Bayangkan kalau setelah yang terakhir, waktu terulang lagi.” Balas Tom.

“Uh, sebaiknya tidak kubayangkan… Baiklah, aku berhenti disini. Salam untuk ibumu, ya.”

“Kuharap hal tadi tidak terjadi lagi…”

“Aku juga berharap begitu. Tapi, darimana kau menebak kalau waktu tidak akan terulang lagi setelah kita mengerjakan
ujiannya dengan lancar? Dari buku yang kaubaca?”

“Begitulah… Ya sudah, sampai jumpa besok.”

“Hei, Tom, menurutmu… berapa banyak dari teman kita yang masih sanggup ke sekolah besok?”

“Entahlah, mungkin ada diantara mereka yang akan sangat takut untuk masuk kedalam kelas. Kau sendiri?”

“Aku yakin kau akan ada disana.” Jawab Alia seraya tersenyum manis.

“…”

“Sampai jumpa besok, Tom.”

“Yeah, sampai jumpa besok.”

Itupun, kalau ‘besok’ bisa kita temui.


The End.

No comments:

Post a Comment