Friday, December 26, 2014

GWC : Zielverhuiser


Apakah poster di atas terkesan familiar bagi Anda? Ya, poster yang telah ramai bersirkulasi di media sosial Facebook selama beberapa hari belakangan merupakan poster dari Freak-Quency, sebuah game Visual Novel yang berkisah mengenai misteri seputar dunia permainan virtual. Seusai versi penuhnya dirilis beberapa waktu yang lalu, game besutan Dewi Nur Fitri // Xerofit51 ini telah ramai dibicarakan dalam beragam komunitas, baik lokal ataupun internasional.

Meskipun demikian, banyak yang belum mengetahui bahwa game ini sejatinya adalah proyek lintas anggota Genshiken ITB. Pembaca yang jeli mungkin masih mengingat artikel mengenai Freak-Quency yang kami lansir beberapa bulan yang lalu, dan percayalah - sejak saat itu, banyak aspek yang telah berkembang pesat. Nama-nama seperti Sakon // sakon04 (yang notabene kini telah resmi bergabung dalam panji Genshiken ITB), Zakaria S. Laksmana // Nivalyx, dan Bima Saddha Prabawa // ntLKM pun turut andil dalam pengembangan game ini dengan kontribusinya masing-masing.

Fenomena Freak-Quency mungkin sedang mewabah, namun terlepas dari itu untuk saat ini kami ingin membawakan suatu konten lain yang menyegarkan ke permukaan. Yap - mengiringi musim liburan kali ini, kami mempersembahkan kepada Anda sebuah kisah pemecah rekor internal yang telah kami singgung sebelumnya - Zielverhuiser. Berikut detail teknis mengenai karya terkait :

  • Judul : Zielverhuiser
  • Pengarang : Ted Kesgar // tkesgar
  • Event : Genshiken Writing Challenge - UJIAN

Sebelum kami mengakhiri post pamungkas di tahun 2014 ini, kami juga ingin mengumumkan bahwa tertanggal 15 Desember 2014 kemarin Hamzah Yondita // Yon sudah efektif menjadi admin kedua blog ini! Konten dari Yon akan kami hadirkan sesegera mungkin. Sampai saat itu tiba, selamat berlibur, dan tetaplah produktif berkarya!

PS : Further insights about the new version of Freak-Quency (including download link) is accessible here

----------------------------

Selasa, 28 Oktober, 0530
Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat
Prajurit Satu Anisha Farakina
Batalion Infanteri 42

Aku duduk di sebuah bukit kecil di belakang kamp latihan, merasakan hangatnya mentari yang baru terbit sebagian. Hampir semua orang masih berada di tenda masing-masing, merapikan perlengkapan masing-masing, takut jika tiba-tiba sore nanti ada sidak. Aku sudah bangun sejak jam empat pagi dan sudah selesai membereskan perlengkapanku menjelang Shubuh; aku masih gugup karena hari ini adalah hari yang penting. Setelah apel pagi, kami akan mengadakan latihan perang khusus di pusat kota Bekasi. Hasil dari latihan perang itu akan menentukan siapakah beberapa orang dari kami yang akan diambil menjadi anggota Resimen Operasi Khusus.

Menjadi anggota ROK adalah tujuan utamaku menjadi tentara. Alasanku bukan untuk mengejar pangkat, bukan pula karena rasa patriotisme membela Tanah Air, namun karena aku ingin berada dekat dengan Aram. Dari kabar terakhir yang kuperoleh di mensa, saat ini ROK berada di Cikarang, sekitar lima belas kilometer dari Rengasdengklok.

Suasana pagi ini mengingatkanku pada satu pagi lima tahun lalu. Pagi di mana Dumai dibombardir. Pagi di mana ayah dan ibu tewas terkena bom. Pagi di mana seorang teman yang sudah kuanggap sebagai kakak, Aram, menyelamatkanku. Aram beserta beberapa teman yang lain -- Hariadi, Jaring, dan Bayan -- terlarut dalam semangat patriotisme dan langsung mendaftar menjadi tentara, meskipun saat itu mereka masih berumur enam belas tahun.

Aku menjadi tentara saat kondisi Indonesia sedang sulit-sulitnya. Dua tahun yang lalu, aku ingat saat itu TNI memerintahkan semua orang di usia lima belas sampai empat puluh tahun untuk datang ke kamp pelatihan menjadi tentara. Saat itu, hanya pulau Jawa yang masih dikuasai Indonesia. Kondisinya sudah lebih baik sekarang -- kami sudah merebut kembali pulau Kalimantan dan Sulawesi, namun musuh masih menguasai pulau Sumatera, Banten, dan pusat kota Jakarta.

Ketika aku mendengar Aram menjadi anggota ROK, aku meniatkan diri untuk menjadi anggota ROK. Setelah pertempuran besar di Bandung -- tiga puluh ribu kami melawan delapan puluh ribu tentara musuh, atasanku merekomendasikanku menjadi anggota ROK. Anggota ROK hanya dipilih lewat seleksi tertutup berdasarkan rekomendasi staf senior. Tampaknya apa yang kulakukan di Bandung -- menembak empat puluh tiga musuh dan merusak sebuah tank kecil -- cukup membuat staf senior terkesan.

Aku ingin bertemu kembali dengan Aram, orang yang aku suka sejak kecil. Sekarang peluangku ada di depan mata, dan aku tidak ingin melewatkannya.

                                   * * *

Pukul tujuh tiga puluh, apel pagi telah selesai dilaksanakan. Kami sedang melakukan cek perlengkapan dan persenjataan di ruang senjata. Meskipun hari ini hanya latihan perang, kami diperintahkan untuk mempersiapkan perlengkapan penuh, karena hari ini merupakan latihan perang terakhir sekaligus ujian seleksi ROK.

"Perlengkapanmu sudah semua?"

Eri adalah satu-satunya tentara wanita di seleksi ROK selain aku. Dia berasal dari Pekanbaru, ibukota Riau yang jaraknya tiga jam perjalanan dari Dumai lewat jalan tol. Orangnya ramah, teliti, dan terkesan lugu -- aku masih penasaran bagaimana dia memperoleh rekomendasi.

"Ya, sudah," jawabku.

"Kenapa kamu tidak menggunakan senapan serbu -- oh ya, aku lupa kalau kamu itu Ziver. Memang perlengkapan Ziver begitu berat ya?" tanya Eri?

"Ya, hampir sepuluh kilo. Ditambah perlengkapan medis standar, aku tidak bisa bergerak jika harus membawa senapan serbu," jawabku.

Ziver adalah singkatan dari Zielverhuizer, istilah bahasa Belanda yang artinya 'pemindah jiwa'. Ziver merupakan sebuah alat baru yang mulai digunakan oleh tentara Indonesia baru-baru ini. Ziver memungkinkan jiwa manusia untuk diselamatkan dalam kondisi gawat darurat di tengah medan pertempuran. Caranya adalah dengan memindahkan jiwanya ke dalam kontainer 'fles' yang mirip sebuah botol suplai air kecil, namun terbuat dari baja dan jauh lebih berat. Nantinya, jiwa tersebut dapat dipindahkan ke semi-klon dari tubuh asli tentara tersebut -- sebuah android yang mirip dengan tubuh aslinya. Terdengar mengerikan, namun TNI hanya berusaha menyelamatkan tentara yang hampir mati. Sejak pertama kali diperkenalkan beberapa tahun yang lalu, Ziver telah menyelamatkan ratusan nyawa tentara, namun memang ada tentara yang marah, yang lebih ingin mati di medan perang alih-alih menjadi semi-klon. Alat Ziver sendiri terdiri dari dua buah pelat dengan sebuah generator besar, mirip dengan defibriliator.

"Isha, jika nanti aku hampir mati, tolong sisakan sebuah fles untukku, ya," kata Eri.

"Insya Allah," aku tidak berani langsung berkata iya terhadap permintaan tersebut. "Ketika masuk ROK nanti aku akan menyiapkan fles khusus dengan namamu."

"Yah, meskipun nanti juga belum tentu terpakai," Eri menepuk kepalaku. Dia begitu tinggi untuk seorang wanita -- tinggiku 168 cm, namun aku hanya sedagunya.

PRIIIT!

"Semuanya berangkat!"

Peluit tanda waktunya berangkat dibunyikan. Kami berangkat keluar dari ruang senjata menuju kendaraan masing-masing.

                                   * * *

Selasa, 28 Oktober, 1530
Cikarang, Bekasi, Jawa Barat
Letnan Satu Ramadan Arietta
Resimen Operasi Khusus 4

"Pindai ke arah barat laut."

Bayan menembakkan sebuah drone ke angkasa. Dilengkapi dengan kamera, sebuah drone dapat melihat kondisi suatu medan hingga radius empat kilometer.

"Satu kilometer ke arah utara. 42 sekitar tujuh orang, musuh cukup banyak, ada kendaraan tempur."

"Baik. Semuanya, bergerak menuju zona pertempuran, hindari kontak dengan musuh, Raka ikut denganku. Bayan, Madina, pergi ke titik ini dan siaga di dalam mobil," aku menunjuk satu gedung di peta interaktif. Gedung tersebut relatif jauh dari zona pertempuran.

"Dimengerti."

Aku dan Raka berpasangan menuju zona pertempuran yang ditunjukkan.

Pukul sebelas tadi pagi, Batalion Infanteri 42 diserang secara diam-diam oleh musuh saat mengadakan latihan perang. Sebagian besar dari mereka sudah dievakuasi, namun terdapat satu peleton yang menjadi penjaga belakang ketika evakuasi. Atasan memerintahkan dua skuad ROK-4 -- salah satunya skuadku -- untuk menjemput peleton penjaga belakang. Dari kondisi mereka sepertinya tidak terlalu bagus; satu peleton berisi sekitar dua puluh orang telah berkurang hingga menjadi tujuh orang. Rencanaku adalah menjemput mereka -- sisa mereka -- dan lari menuju Bayan-Madina yang sudah siaga dengan mobil.

Aku tak habis pikir mengapa mereka mengadakan latihan perang hanya beberapa kilometer dari garis depan.

                                   * * *

Aku dan Raka tiba di zona pertempuran, sebuah rumah susun empat lantai yang cukup besar. Kami memasuki rumah tersebut dari arah selatan, menghindari musuh yang mengepung dari arah barat dan utara. Suara tembakan berdesingan memenuhi telingaku.

"Teman dari selatan! Teman dari selatan!" teriakku, memberi tahu Tentara 42 bahwa terdapat unit ROK di daerah mereka. Seorang dari 42 menghampiriku.

"Kamu komandannya?" tanyaku.

"Ya, saya Serma Amir. Kapten sudah tewas," jawabnya.

"Berapa orang yang tersisa?"

"Tujuh, dengan satu orang medis Ziver."

"Baik. Raka, siapkan satu drone tembak di lantai dua menghadap barat, aku akan siapkan satu di lantai tiga menghadap utara. Amir, bawa semua orang ke bawah, kita akan evakuasi," aku memberi perintah kepada Raka dan Amir.

"Dimengerti."

Aku menaiki tangga menuju lantai tiga, saat kemudian aku melihat sosok yang kukenal: Isha. Isha memegang tangan dari seorang tentara perempuan yang terbaring di lantai. Tentara perempuan itu bersimbah darah, dari mulut dan tenggorokannya keluar darah membanjir.

"...sha..." tentara perempuan itu berusaha berbicara sesuatu.

"Eri..." gumam Isha, sembari menyiapkan mesin Ziver untuk melakukan pemindahan jiwa. "Tunggu sebentar, kamu akan baik-baik saja..."

Aku tiba tepat waktu untuk menyaksikan pertama kalinya aku melihat bagaimana jiwa dipindahkan ke dalam fles. Di tangan Isha terdapat dua buah pelat semacam pelat defibriliator. Pelat di tangan kiri diarahkan ke sebuah fles, sedangkan pelat di tangan kanan diarahkan ke dada tentara perempuan itu.

"Lima, empat," Isha menghitung mundur, "tiga, dua, satu."

Kemudian tubuh tentara perempuan tersebut tersentak ke atas, persis seperti disetrum. Fles yang dipegang Isha berubah menjadi berpendar kehijauan.

Setelah ritual pemindahan jiwa selesai, aku menghampiri Isha. "Isha?"

"Aram!" sahut Isha melihatku.

"Kenapa kamu menjadi tentara? Dan... itu tadi pemindahan jiwa?" tanyaku.

"Ya," jawabnya singkat.

"Ada banyak pertanyaan yang harus kamu jawab nanti, Isha," kataku.

Sebuah pesan dari jarkom memotong reuni singkatku dengan Isha.

"Aram, tank musuh dari arah utara sedang menuju kalian, tiga menit."

Sial.

"Dimengerti. Tim ROK, amankan jalur dari selatan zona ke mobil, kami akan evakuasi," jawabku lewat jarkom.

"Isha, kamu, langsung ke bawah! Kita akan evakuasi!" kataku kepada Isha.

"Dimengerti!"

Aku berusaha memasang drone tembak secepat mungkin. Drone tembak tidak terlalu akurat untuk menghabisi musuh, namun cukup akurat untuk memberikan tembakan perlindungan selagi kami melakaukan evakuasi. Setelah selesai, drone tembak pun aktif dan langsung menembaki musuh. Beberapa musuh terkena tembakan langsung, sedangkan mereka yang hendak menyeberang masuk langsung mundur.

"Aram, jalur aman. Segera lakukan evakuasi," pesan dari jarkom.

Aku langsung turun ke bawah, dan memberikan perintah untuk evakuasi kepada semuanya.

"Semuanya, evakuasi! Ikuti Raka menuju mobil!" aku memerintahkan evakuasi sambil menunjuk Raka.

Satu per satu tentara keluar melewati pintu belakang di sebelah selatan. Satu, dua, tiga -- tunggu, mana Isha?

"Mana Isha?" tanyaku pada Amir, tentara paling belakang.

"Dia masih di atas, membereskan Ziver," jawabnya.

"Di mana?"

"Lantai dua!"

Aku bergegas ke lantai dua. Di sana, aku melihat Isha bersama banyak fles. Banyak sekali.

"Hati-hati, jangan sampai jatuh!"

Aku menghampiri Isha. "Semua fles ini... berisi?" tanyaku kepadanya.

"Ya. Empat puluh delapan orang, empat puluh delapan fles. Batalion 42 punya empat Ziver, tapi mereka semua sudah gugur."

Empat puluh delapan orang, empat puluh delapan jiwa, empat puluh delapan fles. Dan Isha mengumpulkan serta membawa semuanya, termasuk dari Ziver-Ziver lain.

Aku merasa sedikit pusing.

"Aram," Isha memanggilku, "bantu kami menyelamatkan teman kami."

Tanpa bicara satu patah katapun, aku mengumpulkan fles-fles yang berserakan di lantai dan memasukkannya ke dalam ransel. Sebuah fles berukuran cukup kecil, seukuran genggaman tangan, namun sangat berat -- aku membawa sekitar dua puluh fles dengan susah payah, terlebih lagi aku masih membawa perlengkapan tentara. Isha membuang berbagai perlengkapan medis di ranselnya sebelum memasukkan fles-fles ke dalamnya.

Setelah semua fles masuk, Isha berdiri, sempat kehuyungan karena berat, sebelum menginjakkan kakinya ke lantai. Matanya melihat ke arahku, sebelum melihat sekitarnya, dan berhenti ketika melihat ke belakangku. Isha langsung berteriak.

"Tank!"

Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Isha, melewati lubang besar yang terbuka di dinding rumah, mungkin bekas granat.

Sebuah tank. Meriamnya mengarah ke lantai dua rumah kos, tepat ke tempat kami berada. Aku dapat merasakannya -- meriam tersebut tepat membidik kami.

"Awas!"

Tiba-tiba, semua terasa lambat. Seberkas cahaya dari meriam tank tersebut, diikuti ledakan besar di atasku, dan dentuman bunyi besar.

                                   * * *

Selasa, 28 Oktober, 1605
Kota Bekasi, Bekasi, Jawa Barat
Prajurit Satu Anisha Farakina
Batalion Infanteri 42

Aku punya sebuah kebiasaan baik yang menyebabkanku akan mati beberapa saat lagi: aku tidak bisa melihat orang lain sakit atau terluka. Aku ingin menyelamatkan orang lain.

Pernah suatu ketika Hariadi jatuh dari sepeda, entah kenapa aku yang panik menangis, lalu lari ke rumah mengambil kotak P3K. Padahal Hariadi tidak terluka sama sekali. Kebiasaan ini menyebabkan aku menjadi tentara medis -- di sebuah pertempuran, alih-alih menembaki musuh aku justru memikul tentara-tentara yang terluka dan beberapa tentara yang sudah gugur menuju zona penyelamatan. Hari ini, entah berapa kali aku melakukan pemindahan jiwa, termasuk menggunakan fles dari Ziver lain yang telah gugur.

Ketika aku melihat sebuah tank dengan meriam yang sudah dibidikkan ke arahku dan Aram, kebiasaanku mengambil alih pikiranku. Aku langsung melompat mendorong Aram ke arah tangga -- tempat yang paling aman jika sebuah lantai runtuh, berusaha melindungi Aram. Dan benar saja, tank tersebut langsung menembakkan meriamnya menghantam langit-langit ruangan, sehingga lantai dua langsung roboh.

Roboh menimpaku.

Seluruh badanku dari kaki hingga dada tertimpa reruntuhan. Kakiku mati rasa. Sepertinya suatu besi tajam mengoyak pinggangku dari belakang. Darah mengalir.

Sakit.

Sakit.

Sakit.

Aku mulai kehilangan kesadaran.

"...Isha? Isha? Isha!" Aram menghampiriku. Dia selamat.

Betul juga, aku Ziver.

"...Ziver..." aku kesulitan dalam bernafas, dan tidak bisa berbicara dengan lancar.

"Aku ambil!" Aram pergi. Tak lama kemudian, Aram kembali dengan membawa mesin Ziver.

"Jarkom... tank hancur... drone bom... maaf..." aku tidak bisa mendengar kata-kata Aram dengan jelas. Mungkin sebuah drone baru saja menghancurkan tank yang baru saja membunuhku? Terlambat sedikit saja.

"Fles? Isha... fles kosong... di mana?" Aram bertanya kepadaku.

"...di ransel... ku."

Betul juga, aku menyimpan fles kosong di ranselku bersama beberapa puluh fles lain, yang kini tertimpa reruntuhan.

Air mataku mulai mengalir. Aku tahu aku akan mati tanpa bisa dipindahkan.

Aram terduduk di depanku, tangannya memegang pelat Ziver. Pandangannya kosong.

"Aram..." aku berusaha berbicara.

"Isha... bicara..."

Aram melarangku berbicara? Aku tidak bisa mendengarnya. Aku ingin meminta maaf kepadamu karena menjadi tentara. Aku juga ingin menyatakan suka kepadamu menjelang aku mati.

"Maaf... aku... tentara... suka..."

Kata-kataku semakin kacau. Sial.

Aram berhenti berbicara. Kemudian, tiba-tiba Aram memasang pelat di keningku. Aku tidak bisa melihat fles yang digunakan Aram. Dari mana Aram mendapatkan fles baru? Bagaimana jiwa bisa dibuang dari fles yang sudah berisi? Yang aku tahu, fles tidak bisa dipakai dua kali.

"Lima..."

Apakah Aram memaksa menggunakan fles yang sudah berisi jiwa? Jangan! Jangan menggunakan fles yang sudah berisi! Jiwaku akan tercampur dan rusak, sesuatu yang lebih mengerikan daripada mati!

"Empat..."

"Jangan..." tanganku berusaha mencengkeram tangannya yang memegang pelat, namun tanganku sudah terlalu lemah.

"Tiga..."

Aram, tolong jangan.

"Satu..."

Untuk sesaat aku merasa kepalaku seperti ditekan begitu kuat, seperti hendak diremukkan.

Kemudian semuanya menjadi gelap.

                                   * * *

Kamis, 28 Oktober, 0530
Monumen Nasional, Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Kapten Ramadan Arietta
Resimen Operasi Khusus 4

Satu tahun telah berlalu sejak pertempuran di Bekasi.

Sejarah akan mencatat pertempuran di Bekasi sebagai salah satu pertempuran ganas di mana puluhan tentara gugur akibat serangan diam-diam oleh pihak musuh. Beruntung, Batalion 42 saat itu sedang melakukan latihan perang terakhir untuk seleksi ROK, sehingga mereka memiliki persiapan tempur dan menghindari korban yang lebih besar. Dari 280 orang, terdapat total empat puluh sembilan korban, dengan dua puluh di antaranya dapat diselamatkan sebagai semi-klon.

Aku akan mengingat pertempuran di Bekasi sebagai pertempuran kecil yang mengubahku secara keseluruhan. Pada pertempuran itu, aku bertemu dengan Isha selama beberapa menit, hanya untuk melihatnya gugur beberapa waktu kemudian. Aku tidak akan bisa melupakan pemandangan saat itu -- Isha, terkubur hingga kepala dan tangan, dengan darah merembes keluar.

Sial, jika saja drone bom datang beberapa detik lebih awal, Isha tidak akan mati... dan aku tidak perlu melakukan pemindahan jiwa.

Waktu itu, aku memiliki dua puluh fles yang semuanya penuh berisi jiwa yang sudah Isha selamatkan. Tidak ada fles kosong; semua fles kosong ada di ransel Isha yang terkubur bersamanya. Isha akan membunuhku jika tahu aku membuang jiwa yang sudah diselamatkannya, jika memang fles bisa dibuang isinya -- dan ternyata memang tidak. Aku tidak punya tempat untuk melakukan pemindahan jiwa, kecuali satu: tubuhku sendiri.

Aku suka Isha.

Aku melarang Isha berperang agar dia selamat melewati masa-masa perang, untuk kemudian aku jemput setelah perang berakhir.

Pilihan paling rasional sesuai akalku saat itu adalah memindahkan jiwa ke tubuhku sendiri. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi; mungkin jiwaku akan hilang. Setidaknya Isha akan selamat. Aku tidak ingin Isha mati.

Namun hal yang terjadi tidak sesederhana itu.

Apa yang terjadi jika jiwa dipindahkan ke tubuh yang sudah berisi jiwa adalah terjadi fusi. Pikiran Isha menyatu dengan pikiranku. Aku menjadi tahu isi pikiran Isha.

Isha suka aku.

Sial, jika saja pertempuran di Bekasi tidak pernah terjadi...

                                   * * *

Sejak Kemerdekaan Kembali Indonesia tanggal 1 Juni, aku menerima banyak permintaan wawancara dari jurnalis sebagai salah satu pimpinan dari ROK. Hari ini, seorang jurnalis dari kantor berita lokal hendak mewawancaraku. Aku diminta menunggu di Monas pukul 10 pagi, namun aku sudah tiba di sini sejak pukul lima tiga puluh.

Pukul sepuluh lewat tiga puluh, jurnalis tersebut datang. Dasar kebiasaan masyarakat Indonesia, tidak menghargai waktu.

"Maaf, saya terlambat. Kapten Ramadan Arietta, Anda sudah menunggu lama?"

"Tidak, saya tidak menunggu lama."

"Terima kasih -- saya Munir dari KBNI. Bisa kita mulai wawancaranya sekarang, Kapten Ramadan?"

"Isha. Panggil saya Isha."

                                   * * *

Glosarium

Mensa : sebutan untuk ruang makan.

Serma : sersan mayor, salah satu pangkat tertinggi untuk perwira lapangan di TNI.

KBNI : Kantor Berita Nasional Indonesia, kantor berita yang merupakan gabungan dari Antara, RRI, dan TVRI pada waktu itu.

Monday, December 1, 2014

Review : Tari-Tari Basket


It has never been an easy task to steal a lustrous spot beneath the limelight on the 'dreaded' GST works' presentation day. It has never been.

Yet, this year's the faux gloom of the 'dreaded' day vanished. Gems are sparkling in glitter all over the place, nullifying the 'curse' of the day which has lasted for years. I have to say, it is Tari-Tari Basket - a novel project lead by Viona Damayanti - which acts as the Story Division's most major contribution to the gemstone's shine. (don't worry - I'll try to refrain from dropping too much spoiler here)

To make long story short, the story follows the triumph of Dian - a hopeful first-year college youth - on chasing Teguh's affection, who has encharmed her on their first sight with his magnificent flute harmonies. Upon the hands of fate's grant, these two's frequent meeting turned out into a catalyst which triggers a  breakdown point for Dian's heart - whether she should focus on her true basketball rising potent, or following the pathway of the Balinese traditional dance (which is not Dian's main interest) to encharm Teguh even more.

Before proceeding any further, here's one interesting backstory we'd like to tell : All of the judges on the presentation day (including me) agreed that the concept of the story is not something which stands out from the ordinary. Being a teenlit with a classic (and much overused) love-centered theme, it is an obligation for the project to deliver a plus point from another aspect, and yes - the novel did an exceptional delivery on the writing aspects (Thalia's telepathic ability greatly strengthen the story's magnet a lot).

We have to say, this novel is an interesting example of how a deep, philosophy-influenced writing could greatly spice up a concept which is not uncommon. Back then during the mentoring session this novel (lightly) suffers from a rough transition between the informal language and the mesmerizing self-thoughts, but it's clearly visible that there's an attempt to eliminate this barrier on the novel's final print version.


One of the major criticism on the novel back then is on how the illustrations' style conflict greatly among each other (due to the project having multiple illustrators), but personally we think it's not an issue that critical to be greatly concerned of (we can still enjoy the story's intuitable flow anyway). During the second half we can sense somehow that the conflict within Dian's 'steel heart' begins to feel repetitive (and gradually putting our interest away in a slight amount), but it doesn't retract us from examining this story to minutiae.

This novel also applies footnotes to enlighten readers on the more-technical terms (which is brilliant), but there's one big fault which is overlooked more or less - the story never stated its setting (although it's obvious enough that the story took place in Institut Teknologi Bandung), yet there's the name 'MGG' mentioned without any explanations at all about that organization. This would undoubtedly cause a sheer confusion to external (and even some internal) readers, in which some of us has experienced ourselves.

Despite the (not-so-major) flaws pointed on above paragraph, this literary shard is still an interesting one to read overall. It is imminent that there's *something special* poured directly from the writers' heart hidden within the universe of the story - be it consciously or unconsciously ciphered within, we can feel that most of the time this is not the mind speaking - it's the heart speaking. Most obvious is perhaps Teguh's student number (13313033, which actually exists - use this site to check out whom it is if you're that curious), but far beneath what's written in the surface there's still a lot more to dig and decipher. Really, grab a copy and you'll see what we mean.

We'll leave you all within the unsolved conundrum with this magnificent quote directly delivered from the novel itself. Have a nice day.

JLEB...
JLEB...JLEB...
JLEB...JLEB...JLEB...

- Nivalyx